Langsung ke konten utama

Postingan

Mahkota kecil Jangan menangis Mengarungi hiruk pikuk fatamorgana dengan lentera kecil kamu berusahan menerangi sisi gelap hatimu yang membeku semua orang menjauhi mu dari balik jendela terlihat ufuk yang berwarna jingga dengan siluet unggu sambil memeluk kedua lutut kamu berusaha membiarkannya berlalu deru angin memabawa harmoni seolah mengetuk pintu yang tertutup cukup lama dalam hati jangan bersedih mahkota kecil ingatkah kamu saat melukis garis dalam gemerlap bintang saat malam datang kamu tersenyum riang seolah langit berkilau gemilang gelapnya tidak menakuti mu karena kamu melihat pantulan dirimu yang terang saat itu kamu melihat sesuatu yang sempat tertinggal dari mu kini perlahan datang mahkota kecil kejamnya dunia sama sekali tidak menghancurkan mu gelapnya malam tidak meredupkan mu panasnya siang tak menghanguskan mu mahkota kecil berjanjilan kalau kamu tidak akan hilang karena senyuman itu seperti mahkota kecil yang terus kamu kenakan
Postingan terbaru
 Benar? Wahai aku yang selalu merasa benar Dengan sedikit penjelasan atas dekap penderitaan Merasa berhak menjadi tuan hakim atas segala akibat Sadarlah sejenak... Langkah gontai dengan kaki terus gemetar Berpangku tangan pada kesalahan besar Menjengkelkan saat menunjukan ekspresi datar Tak mampu jujur karena jiwa selalu gentar Setiap salah selalu dilempar Sirkuit pikiran pun terus bermain layaknya komediputar Senyuman semu nampak kebohongan walau samar-samar Entah aku linglung atau sudah sadar Jujur aku tak tahu siapa yang benar, aku pun sadar kurangnya aku dalam belajar, tapi... menepis ego dalam keadaan sadar adalah perkara yang sukar, ingin ku hajar diri ku yang tak pandai untuk sadar. Menepuk dada dan merasakan jantung yang terus berdebar membuat ku selalu mencari makna kata "benar". Hingar bingar suara masuk memberitakan sebuah kabar, kalimat itu pun masuk membuat barisan dalam benak dengan rapih dan sejajar. Mendengar itu membuat ku semakin tak sadar tentang apa itu be
 Ayah, kami ingin seperti diri mu. Tulang punggung mu adalah pondasi utama rumah tangga. Pandai menjaga keluh dan air mata. Pundak kecil yang terasa begitu kuat. Tubuh tegap yang selalu mengarahkan kami untuk tetap menghadap kiblat. Pelukan mu yang sesaat terasa begitu hangat. Perjuangan panjang dengan cucuran keringat. Rasa tubuh meronta menuntut untuk istirahat, namun ayah lipat semua dihadapan kami yang tak pandai menebak. Ayah, sosok mu menjadi inspirasi kami melanjak. Ayah, kami tau kenapa selalu punggung yang ayah perlihatkan, pasti dibaliknya banyak luka dan duka yang tak ingin ayah tunjukan walau hanya sejenak. Ayah, kami ingin menjadi seperti mu. Bahkan, kami pula ingin melampaui mu. Menggandeng kami dengan genggaman kuat. Mengajarkan berhitung dengan akurat. Ayah, layak kah kami tumbuh besar? Ibarat bunga, mungkin kami sudah mekar. Tapi, bunga diambil tidak bersama dengan akar. Lalu, bagaimana jika kami akhirnya layu dan dibakar? Ayah, Pohon yang ayah tanam, justru kami yang
 Melubangi waktu Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, karena perhatian hanya terfokus pada kesalahan semata, mencoba untuk terus mengorek luka untuk mencari tau penyebabnya agar hal serupa tidak terjadi di masa selanjutnya, hanya saja aku lupa bahwa yang ku lakukan justru membuat luka lama semakin sulit sembuhnya. Kegiatan ku hanya terpusat pada luka dan kesalahan di masa lalu, membuka lembaran baru hanya sekedar motif yang tabu. Aku sadar bahwa sudah terlalu lama terjebak pada masa lalu, aku selalu bertanya pada diri ku kenapa sulit untuk melangkah maju, ingin rasanya meninggalkan dan membiarkannya begitu saja berlalu, memang apa baiknya untuk ku jika terus terjebak dengan masa lalu? Toh semuanya pasti berubah oleh waktu. Hanya derai luka dan derita yang terus menjamu membuat ku terus merasa sesak dan malu. Cukup! Aku muak dengan lemahnya aku di masa itu! Terus menerus jatuh sambil menggumam pilu. Tapi... Biar begitu... Aku selalu menemukan gambaran seberapa tegar diri ku berjibak
Dibalik Batas  mata terpejam dengan dahi terlipat acak dagu bergerak merubah kepala berhalu donggak pakaian putih namun terdapat sedikit corak bibir tertutup rapat walau dalam diri terasa bergejolak terasa bukan diriku yang seperti itu tetapi kisah memaksaku agar terus begitu walau tangan terkepal erat dalam saku menggunjing waktu perlahan menjadi kebiasan baru aku melihat garis akhir dalam telapak tangan yang ku kira dahulu hanya sebuah pajangan tanpa pertimbangan namun ternyata pehitungan ku berhujung pada pengorbanan tabu, semu, semua itu tak lagi menjadi rekanan seseorang dengan sombongnya berbicara tentang logika dunia terasa tak masuk akal bagi ku yang bersandar pada dermaga yang berbeda dengannya seperti melihat pemandangan kota malam dari dimensi yang berbeda sedangkan yang ku perlukan hanya logika sederhana untuk mencari makna ku temukan sekumpulan surat cinta walau usang dan termakan usia nuansa romansa begitu kental terasa dari isinya tak habis-habisnya rasa cinta itu muncul
Gerhana Kala sendiri dia selalu mencari kawan yang mampu menemani. Dia sangat benci sosok yang terlihat dicermin saat sendiri. Menatap tajam ke arahnya. Dan mulut tak kuasa menghujatnya. Pertengkaran selalu menjadi sarana untuk bisa menyapa. Sekedar berkata tanpa berbuah makna. Mereka saling menutup kebenaran kejadian. Karena salah satunya telah menjadi gerhana bagi sebuah pendirian. Berwujud sama namun saling bersebrangan. Apa yang pernah singgah pada angan kini telah menjadi sebuah kejadian. Tarik ulur kepentingan dengan kasar. Gerasak-gerusuk membuat gusar. Penerimaannya terhadap diri sendiri ternyata memakan waktu yang panjang. Berbagai rintangan harus terus diterjang. Tercebur, tenggelam, dia harus mampu tetap berenang. Walau suasana hati membuatnya tidak merasa senang. Namun itu adalah syarat agar menjadi pemenang.